Dieksploitasi Orang Tua Kandung, Gadis Remaja Mengalami Depresi Berat Dari Ibunya Sejak Kecil Hingga Tidak Sekolah

Suasana Kediaman Keluarga SFNA di Makassar Saat Orang Tua SFNA Tiba Untuk Mengambil Anaknya, Dijalan Bayam Makassar, Sabtu(7/6/2025) 

INDEPENDEN POST, Makassar – Miris,Di balik tembok rumah yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya kasih dan harapan, seorang remaja perempuan berinisial SFNA (17) justru hidup dalam bayang-bayang tekanan, kerja paksa, dan pengabaian. Tragisnya, semua itu diduga dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri, berinisial N.

Hal tersebut diungkapkan, SFNA saat ditemui di kediaman Pamannya dan Tantenya di jalan Bayam, Makassar (7/6/2025) 

SFNA menceritakan pengalaman hidup yang sangat pahit. Sejak kecil, ia tidak pernah merasakan kasih sayang dan merasakan kebebasan sebagai mana anak-anak lain seusianya

Selama 17 tahun hidupnya, SFNA mengaku tak pernah merasakan manisnya masa kecil. Ia dipaksa bekerja sejak usia dini—bukan untuk belajar atau bermain, melainkan mencuci, menyapu, melayani rumah, bahkan—ironisnya—membuat dokumen tagihan bisnis properti milik ayahnya, EK.

Saya seperti pembantu di rumah sendiri. Setiap hari hanya tahu kerja, kerja, kerja. Tidak ada waktu untuk sekolah, apalagi bermain,” ungkap SFNA dengan suara gemetar kepada rekan media di kediaman pamannya, tempat ia kini berlindung.

Baca berita ini juga👇👇

Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia Sulsel Angkat Bicara, "Indikasi Penyelewengkan Kekuasaan. Pedagang Minta Kapolda Sulsel Bertindak Tegas Atas Oknum Yang Terlibat

Miris! Tahan Anak Dibawah Umur Selama 30 Hari Tanpa Status yang Jelas, Kinerja Polres Gowa Disorot

Dari Singapura, Anak Ini Lari ke Pelukan Perlindungan

Kisah ini menjadi rumit setelah orang tua SFNA justru melaporkan dugaan penculikan ke polisi, dengan menyasar pasangan suami istri—Om dan Tante SFNA, yang merupakan saudara kandung dari pihak ayah dan ibu korban. Padahal, faktanya, SFNA datang sendiri dari Singapura untuk meminta perlindungan kepada mereka.

Saya yang datang sendiri. Tidak ada yang culik saya. Saya ingin selamat,” ujar SFNA sambil menahan air mata.

Sumber internal menyebut, laporan penculikan itu kini menjadi kontroversi, karena bertentangan dengan kehendak anak yang justru mencari perlindungan dari orang-orang yang ia percaya.Langkah Awal: Perlindungan dan Pelaporan Resmi

Orang tua SFNA (ibu) 

Karena SFNA telah berada di Makassar, pihak keluarga pelindung bersama Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Makassar segera mengambil langkah cepat. Anak ini diamankan dan dilaporkan ke Polda Sulsel, khususnya ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), atas dugaan penganiayaan dan eksploitasi anak.

“Langkah awal karena anaknya sudah di Makassar, maka kita amankan dulu lewat LPA dan lakukan pelaporan resmi ke Polda Sulsel melalui Unit PPA,” ungkap sumber dari pihak pendamping.

LMR-RI Desak Komnas HAM, KPAI, Kompolnas, dan DPR RI Turun Tangan

Kasus ini mendapat perhatian serius dari Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia (LMR-RI) Komisariat Wilayah Sulawesi Selatan. Ketua Komwil, Andi Idham Jaya Gaffar, S.H., M.H., mendesak agar Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas HAM hadir langsung dalam proses perlindungan hukum terhadap korban.

“Kami meminta Presiden Prabowo Subianto melalui kementerian/lembaga terkait menjamin proses hukum tanpa intervensi, sebagaimana komitmen Presiden terhadap supremasi hukum,” ujar Idham tegas.

LMR-RI juga menaruh perhatian serius pada dugaan kuat adanya permainan dari oknum aparat hukum dalam kasus ini, karena latar belakang orang tua korban yang diduga memiliki jejaring kuat di lingkungan kepolisian dan lembaga hukum lainnya.

Kami minta perlindungan dari Kompolnas dan Komisi III DPR RI, mengingat ibu dari anak ini diduga memiliki akses untuk bermain dengan oknum polisi dan oknum aparat hukum lainnya. Ini sangat berbahaya bagi keadilan anak ini,” tambahnya.

Seruan untuk Media: Kawal, Jangan Biarkan Kasus Ini Dilenyapkan

Dalam konteks ini, LMR-RI juga mengimbau kepada seluruh media televisi nasional, media online, dan media cetak agar bersama-sama membackup kasus ini demi transparansi dan perlindungan maksimal terhadap korban.

“Kami butuh media untuk ikut mengawal. Jika sorotan publik tidak kuat, maka intervensi dan kriminalisasi bisa terjadi. Anak ini bisa dikorbankan dua kali,” ucap Idham.

Bukan Sekadar Pekerjaan Rumah, Tapi Juga Ditarik ke Dunia Bisnis

Lebih mencengangkan, SFNA mengaku kerap diminta membuat invoice untuk mitra kerja ayahnya yang memiliki usaha properti di Makassar.

Saya disuruh membuat invoice, mengetik tagihan. Kalau salah dimarahi, kadang diteriaki. Saya tidak tahu salah saya apa. Saya cuma anak,” tuturnya lirih.

Hukum Jelas, Tapi Siapa yang Menjamin Pelaksanaannya?

Mengacu pada Pasal 76I dan 76F Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, setiap orang, termasuk orang tua, yang melakukan eksploitasi terhadap anak dapat dikenakan hukuman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda Rp200 juta.

Namun yang jadi pertanyaan, ketika pelaku justru punya relasi kekuasaan, siapa yang menjamin hukum ditegakkan sebagaimana mestinya?

Pemulihan Psikologis, Jalan Panjang Seorang Anak

Kini SFNA masih dalam kondisi trauma berat. Ia mulai mendapat pendampingan psikologis secara bertahap dari LMR-RI dan LPA Makassar. Namun luka emosionalnya masih jauh dari kata pulih.

“Kami ingin anak ini tidak hanya aman secara fisik, tapi juga pulih secara batin. Negara harus hadir bukan sebatas dokumen, tapi nyata,” pungkas Idham.

Catatan Redaksi

Kasus ini adalah alarm keras bagi penegakan hukum dan perlindungan anak di Indonesia. Ketika seorang anak memilih lari dari pelukan orang tua karena ketakutan, maka kita harus bertanya:

Apakah rumah itu masih layak disebut rumah?

Dan ketika negara lamban, atau bahkan takut bertindak karena intervensi kuasa, maka apa yang masih bisa kita harapkan dari keadilan?

@Dhy
 



Post a Comment

0 Comments